Keywords: terapis, terapi wicara, tuna rungu, autis, pasca stroke, terapi mendengar, gangguan bicara, gangguan pendengaran
Gangguan
bicara bisa dibedakan pada tuna rungu (karena gangguan pendengaran) dan
pada non tuna rungu (karena sebab lain seperti autis dan stroke).
Anak
autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa
mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa
kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan
besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk
bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih
si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi
(misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk
pengucapannya).
Pada
orang yang pasca stroke dan mengalami gangguan bicara, peran terapis
lebih ke membantu untuk kembali bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas.
Di sini penderita tidak perlu diajarkan prinsip berkomunikasi verbal
karena ia bahkan sudah pernah melakukannnya.
Walaupun agak berbeda dengan kasus autis, keduanya mempunyai kesamaan yaitu bisa mendengar. Artinya proses ‘input’ bagus, tetapi karena suatu gangguan menyebabkan ‘output’nya bermasalah.
Pada anak tuna rungu, ‘output’nya bermasalah justru karena gangguan pada ‘input’. (Note: sepanjang tidak mengalami gangguan lain selain pendengaran, alias bukan dobel handicap.)
Memanfaatkan
sisa pendengaran yang ada, dengan ABD gangguan pada input itu dikurangi
semaksimal mungkin sehingga si anak bisa mendengar dengan lebih baik
(walau tidak sempurna). Tapi tak jarang kita jumpai terapis wicara yang
bahkan tidak tahu anak kita bisa mendengar dengan bantuan ABD, sehingga
cara terapinya sepenuhnya mengandalkan gerak bibir. Bagi sebagian orang
tua yang memilih metode terapi wicara mungkin tidak masalah.
Tetapi bagi
kami yang menerapkan terapi terpadu (mendengar + wicara), kami lebih
prefer pemasukan kosa kata alias ‘input’nya yang utama melalui telinga
(bukan melihat gerak bibir) sementara terapi wicara untuk membantu
output yaitu pengucapan kata-kata yang si anak sudah mengerti tapi
kesulitan mengucapkannya (Plus pada saat awal memperkenalkan prinsip
berkomunikasi, karena saat itu kalau ada orang yang ngajak bicara, Ellen
masih cenderung menirukan, bukan gantian bicara).
Dalam
hal ini terapis wicara minimal harus tahu bahwa si anak bisa mendengar.
Selanjutnya kami juga perlu sharingkan prinsip-prinsip dasar terapi
mendengar agar dia tahu kalau kami juga menjalankan terapi lain (secara
lisan, pinjamkan artikel) serta model terapi terpadu yang kami hendak
jalankan dengan bantuan dia.
Jika
terapis wicara tidak tahu kalau si anak bisa mendengar, pada saat
permainan gantian misalnya, ia akan memberi aba-aba “Ellen” “Ibu”
“Ellen” “Ibu” dst dengan cara berteriak sambil meminta Ellen
memperhatikan gerak bibirnya. Sementara dengan pendekatan terapi
mendengar/TAV, aba-aba seperti itu dilakukan secara full verbal, jadi
sekaligus untuk melatih si anak mengenali suara. (Note:
bahkan di TAV si terapis menutupi mulutnya dengan tangan/kertas agar
tidak terlihat gerak bibirnya, tetapi kami sendiri jarang begitu karena
kadang Ellen malah ikut menutupi mulutnya; kami lebih sering
mengucapkannya dari samping/belakang.)
Dengan
pemahaman sederhana bahwa si anak bisa mendengar, terapis wicara
diharapkan tidak terlalu menuntut si anak melihat gerak bibirnya
–kecuali tentunya pada saat belajar membentuk pengucapan yang benar.
Tidak
mudah memang memperkenalkan metode ini ke terapis wicara yang biasanya
beranggapan anak tuna rungu tidak bisa mendengar. Tetapi tidak sedikit
juga yang bersikap terbuka dan bisa diajak bekerjasama membantu
perkembangan si anak. (by: papa Ellen)
No comments:
Post a Comment