Penyandang Tuna Rungu itu Kini S2
17 Maret 2006 12:31:23
Prestasinya memang tidak cumlaude, tapi semangat belajarnya untuk bisa
meraih gelar strata dua (S2), patut diacungi jempol dan dicontoh.
Apalagi dirinya termasuk penderita tuna rungu ringan, dimana ia
mengalami gangguan pendengaran dan jika berbicara kurang jelas atau
gagap. Itulah sosok Saprizul Kamil, wisudawan Program Pascarsarjana
Teknik Ligkungan ITS yang mendapat beasiswa dari Departemen Pekerjaan
Umum.
Prestasinya memang tidak cumlaude, tapi semangat belajarnya untuk bisa
meraih gelar strata dua (S2), patut diacungi jempol dan dicontoh.
Apalagi dirinya termasuk penderita tuna rungu ringan, dimana ia
mengalami gangguan pendengaran dan jika berbicara kurang jelas atau
gagap. Itulah sosok Saprizul Kamil, wisudawan Program Pascarsarjana
Teknik Ligkungan ITS yang mendapat beasiswa dari Departemen Pekerjaan
Umum.
“Saya menyadari akan kekurangan diri ini, tapi itu bukan berarti
keinginan untuk terus belajar dan belajar jadi terhambat. Kalau ada
kesempatan dan beasiswa lagi, saya masih ingin melanjutkan sampai ke
program doktor,” kata Kamil saat ditemui Kamis siang (16/3) di Kampus
ITS, bersama isteri dan seorang anaknya.
PNS dari Pemda Indramayu yang ditempatkan di Kantor Lingkungan Hidup ini
mengakui, hambatan pendengaran dan komunikasi memang acapkali
mengganggu proses ia menerima materi kuliah, tapi berkat hobi membaca
yang sangat luar biasa pada dirinya, hambatan-hambatan itu pun seolah
tak ada. “Kemauan saya untuk belajar memang besar, sehingga hambatan apa
pun seringkali saya abaikan. Apalagi para dosen dalam memberikan
materinya selalu dilengkapi dengan hand out lewat visualisasi, sehingga
saya lebih mudah untuk mengerti,” kata ayah satu orang anak kelahiran
Bandung, 11 April 1966 ini.
Diungkapkan Kamil, tunarungu yang ia alami itu, berawal ketika di usia
balita ia terjatuh dari tempat tidur. Akibatnya pendengarannya terganggu
sehingga akhirnya ia lambat dalam merespon pembicaraan orang. “Itulah
sebabnya saat saya TK dan SD, orang tua memasukkan saya di sekolah SLB
bagian B. Tapi setelah itu saya mencoba untuk melanjutkan ke SMP dan SMA
umum. Karena saya ingin membuktikan kalau saya mampu,” kata alumnus SMA
Negeri 9 Bandung ini.
Seusai SMA, Kamil pun melanjutkan ke Program Diploma Tiga Akademi Teknik
Pekerjaan Umum Bandung, setelah itu ia alih jenjang ke Program S1 di
Universitas Sahid, Jakarta, Jurusan Teknik Lingkungan, lulus tahun 1995.
Sebelum diangkat menjadi PNS tahun 1997, ia pun menyempatkan diri
pengikuti Program Diploma Satu Komputer. “Saya sangat menikmati belajar,
karena itu apa pun hambatan yang mengganjal, termasuk kondisi saya yang
masuk kategori penderita tuna rungu ringan, tidak saya hiraukan. Kalau
ada kesempatan lagi saya ingin melanjutkan ke program doktor,” katanya.
Apa kunci suksesnya? “Untuk belajar orang seperti saya, dibutuhkan
kemauan yang kuat dan tidak minder dengan siapa pun dan mau membaca.
Karena modal utama dengan kondisi pendengaran yang mengalami gangguan,
meski sudah dibantu alat, adalah membaca,” katanya.
Sayangnya, katanya menambahkan, orang-orang tunarungu malas untuk
belajar membaca, sehingga selalu saja tertinggal jauh pengetahuannya
dari orang normal. “Hal lainnya harus pandai-pandai beradaptasi dengan
lingkungan. Ini penting, karena kalau kita minder akibat pengaruh
lingkungan, maka nantinya akan menenggelamkan diri sendiri,” kata Kamil
yang pernah aktif di Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu
Indonesia).
Isteri dan Dosen Bangga
Bagaimana tanggapan sang Isteri, Nunung Setyawan, dengan prestasi yang
telah diraih suaminya? “Sejak awal saya bangga dengan kelebihan yang
dimiliki suami saya. Tidak sedikit pun saya minder berdampingan
denganya, karena saya melihat kecerdasannya sangat luar biasa,” kata
Nunung.
Diungkapkan ibu dari Azizah Zahra Kamillah ini, suaminya termasuk orang
yang suka membaca, karena itu dalam waktu 1,5 tahun kuliah di ITS
Surabaya, jumlah buku yang akan dikirim ke Bandung mencapai 3 kuintal
lebih. “Dia orangnya memang suka membaca dan membeli buku. Di rumah
tumpukan buku memenuhi sebagian dari luas rumahnya. Boleh dibilang
gajinya hanya habis untuk keperluan membeli buku. Buku apa saja dari
mulai buku agama, buku ekonomi dan sosial, termasuk buku dari ilmu yang
diperdalamnya Teknik Lingkungan,” katanya.
Di mata sang isteri, Kamil termasuk suami yang sangat pengertian dan
lemah lembut. Kelembutannya melebihi orang yang normal. “Umumnya orang
tuna rungu itu tempramental dan mudah tersinggung, tapi dia tidak.
Terhadap anak juga demikian sangat perhatian dan hati-hati dalam
mendidik,” katanya.
Sedang di mata dosen pembimbingnya, Dr Yulinah Trihadiningrum, Kamil
termasuk sosok yang memiliki kemauan belajar sangat luar biasa. “Di
tengah keterbatasannya ia mau untuk mengganti proposal tesisnya yang
memang dinilai tidak memenuhi syarat untuk peserta program beasiswa PU,”
katanya.
No comments:
Post a Comment