Anak
adalah buah kasih ayah dan bundanya. Anak juga adalah titipan dari Yang
Maha Kuasa. Kepadanya masa depan kita titipkan. Selalu memberi yang
terbaik adalah selalu menjadi motto kita, agar dia juga dapat menjadi
yang terbaik.
Namun
terkadang sesuatu berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Tatkala
ibu mengandung si buyung atau si upik, kemudian mengalami gangguan yang
tak dimengerti dari mana datangnya, yang kemudian barakibat tumbuh
kembang si anak terganggu. Ataupun tatkala kesehatan ibu hamil prima
pun, hal tersebut bisa saja tetap terjadi.
Mempunyai anak dengan kondisi yang tidak biasa (misalnya cacat atau gangguan lainnya) dapat dipandang dari berbagai sudut :
- sebagai suatu musibah yang memalukan keluarga
- menyesali keadaan/nasib/menyalahkan Tuhan
- beranggapan pesimis mempunyai anak yang lemah
- berkeyakinan diri dan berpandangan optimis si anak sama dengan anak normal lainnya
Cara pandang 1 dan 2 tidak akan menyelesaikan masalah, dan orang tua akan menjadi pasif dan tidak membantu permasalahan anak.
Cara pandang 3 memang membantu anak namun dengan sikap yang terlalu protektif sehingga anak menjadi tergantung pada orang tua.
Cara
pandang 4 mempunyai sisi positif karena berbekal mental yang kuat dari
orang tua maka anak juga lebih pede. Namun mempunyai kelemahan juga
karena sebenarnya anak tersebut tidak sama dengan anak lainnya, sehingga
jika anak tidak dibantu anak tidak akan berkembang.
Jadi harus mempunyai sikap yang bagaimanakah?
Saya
ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana saya dan keluarga menjalani
masa tumbuh kembang buah hati kami, terutama bagaimana menjalani dan
akhirnya berhasil melewati masa kritisnya, yaitu dari tidak mendengar menjadi mendengar, dari tidak berbicara menjadi berbicara.
Ellen
adalah putri sulung kami. Selama masa kehamilan saya, tidak ada masalah
serius dan hasil tes TORCH dinyatakan bersih, hanya timbul asma pada
bulan ke-4 dan sempat dirawat inap selama 3 hari. Namun semua obat
dinyatakan aman untuk janin dan efek asma itu sendiri tidak dinyatakan
dapat berakibat serius pada janin.
Dan dia lahir sehat melalui operasi caesar yang berjalan lancar. Kemudian dia bertumbuh kembang sebagai balita yang lucu dan menggemaskan. Kami
baru merasa ada sesuatu yang tidak beres sewaktu usianya menginjak satu
tahun, waktu itu dia belum juga berbicara. Padahal sudah mengoceh dari
usia 6 bulan, walau memang sangat sedikit variasi ocehan bayinya. 1)
Ketuliannya
baru kami ketahui saat dia berumur 2 tahun lebih. Kami sadar memang
kami kurang cermat dalam memantau tumbuh kembangnya terutama dalam hal
mendengar dan wicaranya selama 2 tahun pertama tersebut. Namun yang kami
alami selanjutnya adalah kurangnya informasi dan sarana yang memadai
untuk menindaklanjuti setelah ditemukannya masalah tersebut. Mulai dari
kurang dapat diandalkannya hasil tes BERA2) di beberapa rumah
sakit yang kami datangi (hasil yang berbeda-beda), juga sedikitnya
informasi mengenai tempat dan cara terapi yang benar. Sehingga kami
harus kesana-kemari mencoba-coba, juga sempat mengalami tertipu.3)
Akhirnya
kami berada di jalur yang benar saat dia berusia + 4,5 tahun, yang
sebenarnya sudah agak terlambat untuk ditangani. Karena usia emas tumbuh
kembang balita adalah sampai dengan 5 tahun. Namun masih ada sedikit
waktu sehingga harus dikejar dan digunakan semaksimal mungkin. Hasil tes
pendengaran yang benar akhirnya kami peroleh dari sebuah rumah sakit
pemerintah di Singapura. Kemudian Ellen memakai alat bantu dengar yang
baru yang sudah berteknologi, sehingga mampu untuk mendengar suara
dengan jernih. Saya pun meninggalkan pekerjaan yang selama ini cukup
berarti bagi keluarga demi membantunya mengejar apa yang tidak
dimilikinya selama ini, yaitu bahasa verbal untuk berkomunikasi.
Lalu
saya mengajarinya kata demi kata dalam program belajar yang saya susun
sendiri, melalui gambar dan permainan yang menarik bahkan kadang-kadang
harus heboh, karena dia sudah besar dan mempunyai energi yang berlebih.4)
Kemudian setelah genap satu tahun masa kami belajar bersama, muncullah kata-kata pertamanya. Yang bagi saya ini adalah pengalaman yang sangat luar biasa.
Melahirkan sukacita dan syukur, tentunya. Dan terus kata demi kata
mengalir dari perbendaharaan katanya yang telah dimilikinya selama satu
tahun tersebut. Mulai dari anggota keluarga, nama-nama binatang, kata
kerja sehari-hari, warna, angka, sampai nama-nama tokoh kartun
favoritnya. Tentu dengan kejelasan pengucapan yang masih sangat
terbatas.
Hal
luar biasa yang kami alami berikutnya adalah dia diberi kesempatan oleh
sebuah sekolah umum swasta yang baik di kawasan tempat kami tinggal,
untuk bersekolah bersama-sama dengan anak normal lainnya.
Saat
ini usianya sekitar 7,5 th, sudah bisa bercerita, bercanda, juga
memarahi adiknya (dalam bercerita kadang susunan katanya masih
terbalik-balik, juga menyanyinya masih dalam bahasa planet.) Pelajaran
inti di sekolah yaitu membaca, menulis dan berhitung sudah mulai dia
kuasai. Sedangkan pelajaran untuk bahasa lain seperti Inggris dan
Mandarin tetap dia ikuti tetapi tidak kami paksakan untuk harus dia
kuasai.
Pekerjaan
kami belumlah selesai, namun bisa dikatakan bahwa kami sudah boleh
menikmati hasil dari apa yang kami tanam selama ini. Memang benar
kalimat bijak yang mengatakan :
‘Those who sow in tears will reap with joy‘5)
(“Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai”).
Apa
yang dapat saya intisarikan dari pengalaman saya di atas adalah bahwa
kami memilih untuk berpandangan bahwa kehadiran putri kami di
tengah-tengah kami adalah suatu anugerah, dan ketuliannya adalah suatu
pekerjaan yang Tuhan percayakan untuk kami kelola.
Suatu perumpamaan.
Jika atasan di tempat di mana saya bekerja memberi suatu tugas tambahan di luar job desk rutin kepada saya, dengan pertimbangan bahwa saya sudah pernah mendapatkan training tentang
hal tersebut sebelumnya, dan tugas tersebut akan melatih saya sehingga
akan meningkatkan kapabilitas saya, maka sebagai karyawan pada umumnya
saya akan sulit untuk menolak tugas tersebut. Ditambah lagi bahwa dia
berjanji akan selalu memantau dan siap memberikan bantuan kapan pun saya
perlukan. Mungkin saya akan bertambah bersemangat jika memikirkan akan
adanya kemungkinan promosi jabatan atau reward di baliknya. Namun tanpa imbalan apapun, seorang bawahan sepatutnyalah tetap mengerjakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Keterangan :
- Ellen pada usia 6 bulan hanya mengoceh ‘ya ya ya …, wah, ah, ah’. Sementara adiknya yang normal dari umur 1 bulan sudah mengoceh ‘gu, keh, hu, he eh’, dll dan terus bertambah setiap bulannya. Kemampuan mendengar bayi normal juga sudah terlihat sejak minggu-minggu pertama. Bagaimana mimik menyimaknya ketika diajak berbicara, lalu menangis kalau mendengar suara ibunya (tidak saya temui dengan Ellen dulu).
- BERA adalah suatu jenis tes pendengaran, untuk mengetahui berapa tingkat desibel atau seberapa keras bunyi yang bisa didengar. Hasil tes Ellen di RS di Jakarta menyatakan telinga kanan tuli berat (80 dB) dan telinga kiri hampir total (100 dB lebih). Hasil di Singapura menyatakan bahwa tingkat ketulian Ellen di atas itu atau lebih berat lagi (yaitu telinga kanan 90 dB dan telinga kiri di atas 110 dB). Sehingga alat bantu dengar yang telah ia pakai selama setahun sebelum tes ke Singapura tidak memberikan hasil. (Alat bantu dengar dipilih disesuaikan dengan hasil tesnya, seperti memilih kacamata harus tepat minus atau plus berapa).
- Kami pernah menggunakan jasa terapis wicara yang datang ke rumah. Dari segi kemampuan dia memang bagus dan terlihat profesional, jadi ketika dia meminta kami untuk membayar di muka sebesar Rp 2 juta kami tidak keberatan, mungkin dia ingin komitmen kami. Ternyata baru setengah jalan dia menghilang, kalau kami hubungi selalu beralasan berhalangan (belakangan kami mendapat info bahwa dia memang sudah terkenal seperti itu). Juga ada yang berupa yayasan yang sebenarnya kurang bermutu, menerapkan sistem temuannya sendiri yang belum teruji. Dengan diagnosa asal-asalan, semua anak yang berontak saat diobservasi dibilang autis. Bagaimana anak tidak berontak, begitu ketemu langsung kepalanya ditekan-tekan (katanya untuk melihat kranio sakral, entah apa itu sebenarnya).
- Anak normal tidak memerlukan pelajaran khusus untuk berbicara. Karena telinganya dapat menangkap semua pembicaraan yang berada di sekitarnya, lalu merekamnya, dan suatu saat akan mengucapkannya sendiri. Dan saat proses tersebut berlangsung, gerak tubuhnya masih terbatas (usia 0-12 bulan), dia belum bisa berlari, melompat, memanjat, dan lingkup dunianya pun masih sempit, yaitu sebatas keliling rumah setinggi dirinya dan sedikit dunia luar. Sementara anak kami yang 4,5 tahun sudah berkembang wawasannya dan gerakan fisiknya, serta sudah mempunyai minat sendiri, tetapi kemampuan komunikasinya masih tertinggal di belakang. Sesuatu yang dia minati akan dia ikuti, yang tidak akan dia tolak.